SAY NO TO NARKOBA

Narkotika adalah bentuk penyalahgunaan zat adictive. Istilah Narkotika yang dikenal di Indonesia berasal dari bahasa Inggris Narcotics yang berarti obat bius. Sedangkan pengertian secara unum adalah suatu zat yang dapat menimbulkan perubahan perasaan, suasana pengamatan atau pengelihatan karena zat tersebut mempengaruhi susunan syaraf pusat (UU RI No. 22/1997 dalam kutipan seminar Team Sat Bimmas Polres Bekasi, 2003). Menurut Wresniwiro (1999), narkotika adalah zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan, karena zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi saraf sentral.

Penyalahgunaan zat muncul di Indonesia pada tahun 1969, ketika itu didapati seorang penyalahguna zat yang berobat ke psikiater di Sanatorium kesehatan jiwa Darmawangsa, Jakarta. Sejak saat itu banyak yang didapati remaja yang terlibat dengan penyalahgunaan zat tersebut. Husin (dalam Hawari, 1991), mengatakan bahwa pada umumnya pengguna penyalahgunaan zat narkotika dilakukan oleh kaum laki-laki, yang dapat dilihat dari jumlah persentasenya yang cukup tinggi sebanyak 94 % dan 71 % diantaranya adalah mereka yang berumur 16-25 tahun.

Dilihat dari kelompok usia diatas tersebut adalah golongan yang termasuk dalam kelompok remaja. Remaja adalah merupakan golongan yang paling mudah untuk menjadi penyalahguna narkotika. Hal ini tentu sangat mudah dipahami, karena usia remaja adalah usia yang banyak dihinggapi konflik. Istilah remaja atau “adolesence”, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, social dan fisik. Festinger (dalam Haryanto, 1997) menyatakan bahwa ada kebutuhan instrinsik dari individu untuk mengevaluasi kemampuannya. Kebutuhan ini muncul juga pada diri remaja. Ada lima sifat dan sikap remaja pada umumnya yaitu menemukan pribadinya, menentukan cita-citanya, menggariskan jalan hidupnya, bertanggung jawab dan menghimpun norma-norma sendiri.

Piaget (Hurlock, 1993) mengatakan secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Keterlibatan remaja dalam penyalahgunaan narkotika merupakan akibat dari ketidakmampuan remaja mencari penyelesaian bagi perasaan frustasi, perasaan gagal dan perasaan ketidak pastian lainnya. Markoff (dalam hawari, 1991) menyatakan bahwa pada hakekatnya penyalah guna napza adalah sebagai pertanda jeritan minta tolong dari remaja. Remaja menunjukan ketidakmampuan penyesuaian diri dalam menjalin hubungan yang baik dan stabil dengan keluarganya serta dengan masyarakat sekitarnya.

Sukadji (dalam Haryanto, 1994) membedakan remaja penyalahguna obat menjadi dua alasan yaitu kelompok pencari suaka untuk melarikan diri dari tekanan dan kekecewaan hidup dan tidak adanya harapan bagi masa depan. Kelompok kedua adalah remaja yang ingin mendapatkan pengalaman yang aneh, ingin mencoba tantangan untuk menikmati pengalaman hebat melalui narkotika.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Tambunan (2001), adapun berbagai alasan seorang remaja menggunakan narkotika sangat beragam. Misalnya saja dari faktor lingkungan di mana remaja itu tinggal yang mana sebagian remajanya sebagai penguna narkotika, ada juga karena faktor lingkungan keluarga yang kedua orang tuanya mengalami perceraian, dan masih banyak lagi yang lainnya. Menurut data YCAB di tahun 2000 dikatakan bahwa, jumlah pengguna narkotika dikalangan mahasiswa meningkat. Pada tahun 1996 berjumlah 369 dan meningkat menjadi 1667 pada tahun 1997, kebanyakan dari mahasiswa tersebut menggunakan narkotika karena mereka merasa tidak ingin dikucilkan atau dijauhkan oleh teman-teman yang lainnya (YCAB, 2000).

Wresniwiro (1999), mengatakan bahwa kepribadian juga merupakan faktor yang menyebabkan seseorang menggunakan narkotika. Adapun ciri-ciri para penyalahgunaan narkotika adalah memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Sedangkan gejala dan akibatnya dapat ditandai oleh perkembangan emosi yang terhambat, ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif, agresif dan cenderung depresi. Ketersediaan narkotika dan kemudahan untuk memperolehnya, juga dapat dikatakan sebagai pemicu seseorang menggunakan narkotika. Negara Indonesia juga sudah dapat dikatakan sebagai negara yang menjadi tujuan pasar internasional, sehingga dapat menyebabkan zat ini dengan mudah diperolehnya dari berbagai kalangan manapun. Bahkan dibeberapa media massa mengatakan bahwa para penjual narkotika menjual barang dagangannya hingga ke sekolah-sekolah, dan yang lebih memprihatinkan di sekolah dasar pun sudah dapat dijualnya.

Penyalahgunaan narkotika menimbulkan dampak negatif yang merugikan, dimana dampak yang ditimbulkannya adalah merusak hubungan keluarga, menurunkan kemampuan belajar, ketidakmampuan membedakan mana yang baik dan yang benar, perubahan perilaku menjadi anti sosial, merosotnya produktivitas kerja, gangguan kesehatan, mempertinggi kecelakaan lalu lintas, kriminalitas, serta tindak kekerasan lainnya (Hawari, 1990). Sedangkan dampak lain dari narkotika adalah cidera, cacat hingga kematian. Hal ini dikarenakan pemakaian yang berlebihan (overdosis), sehingga menimbulkan keracunan, perkelahian atau tindak kekerasan dan menimbulkan kecelakaan lalu lintas (Wresniwiro, 1999).

Menurut UU RI No. 22 pasal 47 dan 50 tahun 1997 (dalam kutipan seminar Team Sat Bimmas Polres Bekasi, 2003), mengatakan bahwa dampak atau akibat yang ditimbulkan oleh narkotika beresiko tinggi, maka dari itu para pengguna yang telah terlanjur menjadi pengguna yang aktif, dianjurkan untuk masuk ke panti rehabilitasi narkoba untuk menjalani pengobatan.

Dari penjelasan seperti diatas, penyesuaian diri korban narkotika pada remaja baik dalam keluarga atau lingkungan sangat menentukan dalam upayanya melepaskan diri dari keterikatan narkotika. Maka yang dimaksud agar korban narkotika terbina dan pulih kembali dapat dilakukan dengan penyesuaian diri yang baik, sehingga remaja korban penyalahguna mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam tata kehidupan serta dapat terlaksananya dengan baik usaha penanggulangan penyalahgunaan narkotika.

Tinggalkan komentar